Perbincangan tentang blockchain, crypto, dan teknologi terdesentralisasi lainnya kini semakin kompleks—tidak hanya di ranah teknologi, tapi juga dalam kajian fiqh Islam. Bagi umat Muslim, penting sekali memahami apakah blockchain, mata uang kripto, atau token digital itu halal, haram, atau mubah?
Artikel ini merangkum pandangan dari beberapa ulama dan otoritas keuangan Islam global, diiringi analisis moderat agar kamu bisa lebih memahami ranah ini secara utuh.
1. Shaykh Shawki Allam (Grand Mufti Mesir)
Shaykh Shawki Allam secara tegas menyatakan bahwa bitcoin dan mata uang digital lainnya adalah haram. Alasannya:
- Mengandung gharar (ketidakpastian), nilai turun-naik ekstrem, dan rentan penipuan.
- Tidak memiliki regulasi atau dukungan dari lembaga negara, sehingga rawan disalahgunakan untuk tindakan kriminal (Global Islamic Finance, Reddit, islamicfinanceguru.com, The Times of India).
2. Mufti Faraz Adam (Inggris)
Sebaliknya, Mufti Faraz Adam melihat crypto sebagai aset digital yang bisa memenuhi definisi “maal” (harta):
- Bisa dimiliki, disimpan, diperdagangkan.
- Jika token memiliki kegunaan (utility), maka dianggap sah sebagai aset.
- Namun ia menegaskan setiap crypto harus screening syariah, karena tak semua crypto halal.
3. Dr. Mohamed Ali El Gari & Dr. Mohd Daud Bakar (Malaysia)
Kedua ulama dari Malaysia ini juga condong memandang bitcoin sebagai aset, bukan uang fiat:
- Meskipun tidak sempurna sebagai mata uang, bitcoin bisa dianggap maal.
- Menekankan perlunya tokenisasi berbasis komoditas nyata agar lebih diterima dalam syariah.
4. Mufti Muhammad Taqi Usmani (Pakistan)
Mufti Usmani cenderung skeptis:
- Melihat crypto sebagai spekulatif, belum diatur.
- Belum layak untuk dijadikan alat tukar syariah.
5. Mufti Muhammad Abu-Bakar, Dr. Monzer Kahf, Mufti Abdul Qadir Barakatullah
Sejumlah ulama ini optimis:
- Kripto bisa halal jika memiliki fungsi dan digunakan secara syar’i.
- Menekankan, spot trading (tidak memakai leverage/bunga) lebih sesuai syariah.
6. Otoritas Islam Resmi di Malaysia, Bahrain, Afrika Selatan
Beberapa lembaga fiqh modern telah memberikan sertifikasi syariah terhadap blockchain dan crypto:
- Stellar, Algorand, X8 stablecoin, dan yang berbasis emas (seperti OneGram).
- Malaysia’s Shariah Advisory Council pun mengizinkan perdagangan crypto yang terdaftar resmi.
7. Ulama Digital & Teknokrat Islam
Para ulama digital, seperti Sheikh Haitham al-Haddad, menyoroti bahwa crypto harus dikaitkan dengan underlying asset (analog ke emas/perak):
- Tanpa itu, crypto sulit dipandang sebagai uang atau aset — justru mirip spekulasi.
Kenapa Ada Perbedaan?
Perbedaan pandangan ini muncul karena:
- Volatilitas dan risiko tinggi dari crypto menimbulkan kekhawatiran syariah (gharar, maisir).
- Bila dikembangkan sebagai aset nyata (gold-backed, real estate, utility token), maka membuka peluang kehalalan.
- Fatwa berbagai negara masih dinamis—Indonesia (haram), Malaysia dan Bahrain (selektif halal).
8. Peluang Blockchain Syariah
Blockchain bukan cuma soal crypto. Teknologi ini banyak potensi:
- Smart contract syariah
- Tokenisasi zakat dan wakaf
- Supply chain halal yang transparan
Beberapa studi—seperti dari jurnal Indonesia—menyebut blockchain bisa mendukung maslahah ekonomi syariah jika diselenggarakan secara adil dan legal.
9. Sikap Bijak bagi Muslim Cerdas Digital
- Pahami tujuan penggunaan—nilai teknologi, bukan sering trading.
- Hindari spekulasi, spot trading saja tanpa leverage.
- Pastikan crypto yang dipilih sudah “clean”, backed asset, legal, dan punya kegunaan riil.
- Ikuti regulasi—jangan beroperasi di pasar gelap.
- Terus belajar, jangan takut untuk berkonsultasi dengan ahli fiqh fintech.
Penutup
Dalam ranah global, pandangan ulama sangat beragam: mulai dari yang tegas menolak sampai yang optimis melihat potensi halal. Ini menunjukkan bahwa kita hidup di era di mana “tidak ada jawaban tunggal”, dan pendekatan harus fleksibel serta berbasis syariah, maslahat, dan sains.
Penulis menulis dari sudut pandang yang umum, pasar, dan teknologi, sekaligus sebagai Muslim yang peduli maslahat umat. Kita tidak boleh hanya terpaku pada satu sisi saja—harus melek dan terus update pengetahuan. Dengan begitu, kita bisa memanfaatkan teknologi syariah secara optimal, tanpa mengorbankan nilai-nilai agama.